Dari:
"Dimas Yoga" <*******@gmail.com>
Tambahkan Pengirim ke KontakKepada:
mm3sakti32b@yahoogroups.com, mm32trisakti@yahoogroups.com, MM_Society@yahoogroups.com
Distribusi Pendapatan vs. Kebahagiaan
Kalau dibandingkan, saat ini kita punya spending power yang jauh lebih besar daripada 40-50 tahun lalu—-dan itu terjadi di hampir seluruh level pendapatan masyarakat. Hampir semua lapisan masyarakat bisa membeli dan mendapatkan barang yang lebih baik dan lebih banyak daripada sebelumnya. Banyak dari kebutuhan yang di tahun 1970-80an dianggap belum ada namun menjadi sesuatu yang wajib dimiliki saat ini.
Tentu saja, orang-orang kaya yang berada di lapis teratas menjadi makin kaya daripada sebelumnya. Kekayaan mereka meningkat signifikan, begitu pula dengan kebutuhan mereka. Sementara orang-orang yang berada di lapisan menengah mengalami peningkatan kekayaan, namun tidak terlalu eksponensial. Baru mereka yang berada di lapis bawahnya menikmati potongan kue yang jauh lebih kecil.
Menariknya, ketika dikaitkan dengan kebahagiaan, kekayaan ternyata menjadi hal yang relatif, bukan menjadi ukuran yang mutlak. Sebagai contoh, orang-orang primitif yang hidup di gubug pedalaman di suatu negara miskin di dunia ini ternyata bisa hidup sama bahagianya dengan mereka yang tinggal di sebuah rumah yang luas di negara maju.
Namun, setelah mereka yang tinggal di pedalaman menikmati akses televisi, standar kebahagiaan mereka akan menurun. Mereka tidak lagi membandingkan kesuksesan mereka dengan sekitar lingkungan mereka, melainkan dengan orang-orang kaya di belahan dunia lainnya. Kalau sebelumnya mereka tidak butuh kendaraan atau telepon seluler, kini mereka merasa “membutuhkan” barang-barang tersebut.
Hal menarik lainnya adalah bahwa ternyata jauh lebih mudah menunjukkan (baca: memamerkan) kekayaan daripada menyembunyikan kekurangan kita. Kita relatif sulit untuk “berpura-pura” kalau kita mengendarai Mercedes Benz atau mengenakan arloji Patek Philippe. Sebaliknya jauh lebih mudah untuk menutupi kalau ada psikiater atau debt collector yang datang ke rumah kita.
Pendek kata, standar kebahagiaan dalam diri kita diukur berdasar seberapa banyak kekayaan yang kita miliki dibandingkan dengan milik orang lain. Kalau tidak punya bekal benteng “iman” yang kuat, makin sering kita bergaul dengan orang-orang yang lebih kaya, maka makin bergeser pula standar kebahagiaan kita. Celakanya, tak jarang nafsu untuk mengejar gap tersebut harus dibiayai dengan utang, bukan dengan peningkatan pendapatan sendiri.
Pusat perbelanjaan barangkali juga bisa menjadi salah satu indikator menarik untuk melihat bagaimana faktor pendapatan mempengaruhi kehidupan konsumsi kita. Mall dan pertokoan menjadi tempat untuk saling membandingkan standar kebahagiaan (dan kekayaan) dengan orang-orang dari lapis golongan yang beragam. Lagi-lagi, kalau tidak dibekali “iman” yang kuat,makin banyak pusat perbelanjaan tentu justru makin membawa mudharat.
Buku karya Ellen Dunham-Jones dan June Williamson yang berjudul “Retrofitting Suburbia: Urban Design Solutions for Redesigning Suburbs” mencatat bahwa di tahun 1986 Amerika mempunyai pusat perbelanjaan rata-rata 15 kaki persegi per kapita. Itu merupakan angka terbesar di dunia waktu itu.
Di tahun 2003, jumlah itu meningkat jadi 20 kaki persegi per kapita. Di bawah Amerika, menyusul Kanada dengan 13 kaki persegi per kapita dan Australia dengan 6.5 persegi per kapita. Di Eropa, angka tertinggi dipegang Swedia dengan rata-rata 3 kaki persegi per kapita. Jumlah itu belum termasuk ledakan akibat property boom yang terjadi beberapa tahun kemudian.
Sementara ini belum ditemukan data yang pasti tentang luas pusat perbelanjaan di Indonesia. Tapi ambil contoh di Jakarta. Kalau kita jalan dari Megamall, tak sampai 1 km ketemu Pluit CBD. Tak jauh dari situ ada Season City (Latumenten) dan Citraland. Tak sampai 1 km lagi ada Mall Taman Anggrek dan mall baru depan Mediterranean. Mungkin terlalu cepat kalau kita menyimpulkan bahwa akan terjadi property crash dalam waktu dekat—-namun bukan berarti kita boleh mengabaikan fenomena semacam ini.
Kalau berkaca dari krisis keuangan 2008 lalu, mustinya kita bisa belajar dari Amerika. Konsumsi rumah tangga mereka ditopang lewat utang. Beban yang begitu berat lambat laun akan melahirkan crash. Idealnya, pembangunan difokuskan untuk memperluas jalan, memperbaiki sekolah, membangun taman kota dan ruang publik lainnya.
Sialnya, yang terhormat wakil rakyat tampaknya terlalu sibuk memikirkan soal ini. Mereka sepertinya lebih suka memaksakan kehendak politiknya dibandingkan memikirkan masa depan ekonomi bangsa ini. Jangankan memikirkan untuk membuat rakyat lebih bahagia, memikirkan pemerataan distribusi pendapatan saja sepertinya masih sangat mustahil. :(
__._,_.___
.
No comments:
Post a Comment