Monday, April 26, 2010

Listrik baru penting kalau sudah mati!

Dahlan Iskan: Listrik baru penting kalau sudah mati!

Pekan lalu saya menerima tamu dari Kepco, "PLN"-nya Korea Selatan.
Banyak hal bisa didiskusikan. Mulai dari tenaga nuklir sampai ke soal
tarif listrik di sana. Di Korsel, Kepco ternyata juga diminta
pemerintahnya agar tetap melayani listrik untuk golongan tertentu
dengan tarif yang amat murah.

Bedanya, tarif listrik paling murah di Korsel ternyata bukan untuk
rumah tangga golongan bawah. Tarif listrik paling murah itu diberikan
kepada sektor pertanian. Kebijakan itu mengandung dua tujuan
sekaligus: menolong petani dan mendorong peningkatan produksi
pertanian.

Di Indonesia, tarif termurah dikenakan pada rumah tangga golongan bawah.

Yakni rumah tangga yang langganan listriknya hanya 450 kva. Golongan
ini membayar listrik hanya Rp 35.000 sampai Rp 60.000 sebulan. Jumlah
pelanggan golongan ini 19 juta rumah. Banyak di antara mereka yang
pengeluaran untuk pulsa teleponnya lebih tinggi daripada itu.

Di Korsel, listrik untuk rumah tangga dianggap konsumtif. Tidak
produktif. Karena itu, di Korsel tarif listrik untuk rumah tangga
dibuat menjadi yang paling mahal. Ini sekalian bermaksud untuk
mengerem agar semua orang melakukan penghematan listrik secara paksa.
Di rumah tangga, orang biasa menyalakan lampu tanpa jelas tujuannya.
Bahkan, kamar mandi yang sedang tidak dipergunakan pun tidak jarang
tidak dimatikan lampunya. Maklum, murah!

Di Korsel, biarpun petani, untuk rumah tangga mereka tetap dikenakan
tarif termahal. Tapi, sawah/ladang/ kebun mereka mendapat tarif
termurah. Beda antara tarif termurah dan termahal di Korsel kurang
lebih juga sama dengan di Indonesia. Yang termahal sekitar Rp
1.200/kva. Yang termurah juga sekitar Rp 450/kva. Maka di Korsel,
tarif untuk pertanian hanya Rp 450/kva, sedang tarif rumah tangga
sampai Rp 1.200/kva, termasuk rumah tangga petani.

Saya tidak tahu bagaimana riwayatnya dulu sehingga sistem tarif
listrik di Indonesia bertolak belakang dengan usaha untuk menciptakan
tingkat produktivitas bangsa yang tinggi. Yang saya tahu, Kadin
Indonesia sudah lama menginginkan perubahan sistem penarifan listrik
ke arah yang lebih bisa memajukan perekonomian nasional seperti di
Korsel itu.

Mungkinkah suatu saat kelak Indonesia juga lebih berorientasi kepada
produktivitas dan menekan penggunaan listrik yang konsumtif? Sampai
sekarang, sistem penarifan listrik, termasuk besarannya, sepenuhnya di
tangan pemerintah dan DPR. PLN tinggal menerima apa yang diputuskan
dua lembaga tinggi negara tersebut.

Di Korsel pun juga demikian. PLN-nya Korsel juga tidak punya wewenang
menentukan tarif. Maka, sebagaimana juga di Indonesia, PLN-nya Korsel
setiap tahun mengusulkan agar tarif terendah itu dinaikkan. Hanya,
usul tersebut sepenuhnya tergantung pemerintah untuk mengabulkan atau
menolaknya. Bedanya, di Korsel, PLN-nya tidak perlu disubsidi. Sebab,
pelanggan golongan terendah (pertanian) tersebut hanya 10 persen dari
keseluruhan pemakaian listrik di sana. Pemakaian rumah tangga yang
tarifnya tertinggi jauh lebih besar. Tarif untuk industri adalah tarif
yang tidak termahal, tapi juga tidak perlu disubsidi.

Di Indonesia, pelanggan rumah tangga yang tarifnya termurah tersebut
memakai listrik paling banyak. Maklum, jumlahnya sampai 19 juta rumah
tangga. Dengan demikian, golongan industri yang tarifnya mahal belum
bisa memikul kerugian dari pelanggan rumah tangga yang sangat besar.
Itulah sebabnya pemerintah harus menyubsidi pelanggan rumah tangga
yang tahun ini nilainya bisa mencapai Rp 60 triliun. Termasuk untuk
membayar listrik di kamar mandi yang tidak digunakan itu.

Korsel memang sangat serius memikirkan sistem kelistrikannya. Itu
tidak berarti di sana tidak ada tantangan. Demo juga sering terjadi.
Tapi, untuk keperluan listrik yang begitu penting, kebijakan di bidang
listrik tidak boleh kalah oleh demo. Termasuk di bidang nuklir. Meski
daratannya begitu kecil, tidak sampai sebesar Pulau Jawa, Korsel
sekarang sudah memiliki 18 buah pembangkit listrik tenaga nuklir
(PLTN). Sebentar lagi sudah menjadi 20 buah. Luas Korsel hanya 100.000
km2, sedangkan Jawa 130.000 km2).

Maka, sepanjang pantai timur Korsel (menghadap ke Jepang) kini sudah
penuh dengan jejeran pembangkit listrik nuklir. Demikian juga di
pantai selatannya. Untuk pembangunan PLTN yang baru-baru, tidak ada
tempat lagi kecuali dipasang berderet di pantai barat yang menghadap
ke Tiongkok. Kini Korsel sudah menghasilkan 30.000 MW listrik yang
berasal dari PLTN. Jumlah itu sudah sama dengan listrik yang ada di
seluruh Indonesia.

Mengingat produksi listrik di Korsel tahun lalu 70.000 MW (dua kali
lipatnya Indonesia), berarti 50 persen listrik di Korsel sudah berasal
dari tenaga nuklir. Ke depan tenaga nuklir di Korsel akan terus
ditingkatkan sampai mencapai 80 persen dari keperluan nasional.
PLN-nya Korsel itu mampu melakukan investasi besar. Sebab, meski
dimiliki oleh negara, statusnya sudah menjadi perusahaan publik yang
listing di bursa Seoul dan New York.

Begitu banyaknya PLTN di Korsel sampai-sampai negeri itu kini bisa
membuat PLTN-nya sendiri. Separo dari 18 PLTN yang sudah beroperasi di
Korsel adalah buatan mereka sendiri. Bahkan, kini Korsel memenangkan
tender membangun PLTN di Dubai sebanyak 4 buah yang masing-masing
berkapasitas 1.400 MW yang harus sudah selesai tahun 2015 nanti.

Apakah tidak ada problem de ngan penduduk? Bukankah daratan Korsel
sangat kecil dengan jumlah penduduk yang besar? Demo memang sering
terjadi. Tapi, listrik dianggap sebagai kunci dari seluruh kunci
pembangunan nasional. Karena itu, pembangunan listrik tidak boleh
diganggu. Padahal, banyak juga pembangkit bertenaga nuklir itu yang
letaknya di pinggir kota. Jarak antara kota dana PLTN itu hanya 8 km.
Untuk "berdamai" dengan warga kota, pemerintah memberikan fasilitas
khusus pada kota terdekat. Misalnya, pembangunan jalan, sekolah, dan
sarana kesehatan kota tersebut ditingkatkan secara khusus.

Listrik memang belum dianggap barang penting di Indonesia. Pengeluaran
masyarakat untuk membeli pulsa telepon kini sudah lebih besar daripada
untuk membayar listrik.


Listrik baru dianggap penting justru kalau sudah mati!






No comments:

Post a Comment